Friday 4 October 2019

Setelah Membaca Buku


Sudah lama sekali tidak membaca dan tidak menulis. Tapi malam ini aku tamat membaca buku kumpulan puisi, judulnya Selfie(sh). Dan malam ini juga aku membuka aplikasi di laptopku untuk mempertemukan jari-jariku bersama huruf-huruf pada keyboard. Ada suatu ilham yang membisik kepadaku untuk menuang sepatah-dua patah kata.
Hari ini hari Jumat. Tiba-tiba ada kelas Ekonomi Kesehatan Lingkungan. Aku bangun kesiangan, tapi tidak terlambat masuk kelas. Teman-temanku banyak yang tidak masuk. Adapun beberapa yang masuk, tapi tidak begitu memperhatikan. Begitu juga aku, saat kelas tadi aku tidak membawa laptopku jadi agak malas mencatat. Aku menyimak sesekali. Yang aku ingat ada beberapa model perhitungan ekonomi yang tadi diajarkan; CMA, CEA, CUA, dan CBA. Lalu, ibu dosen juga menjelaskan sedikit tentang GDP.
Setelah selesai kelas, aku langsung pergi ke kantin karena kelaparan. Aku memesan makanan dan membayarnya menggunakan Gopay agar mendapat cashback. Menunya cukup enak, yaitu katsu dan beef. Aku menghabiskan makanan itu sampai habis tak bersisa walau sebutir nasi—asli, kelaparan banget.
Kemudian aku pergi ke Rumah Singgah. Saat aku sampai, adik-adik asuh sedang belajar dengan riang. Ajaibnya, tidak ada keributan yang berarti di sekolah non-formal itu hari ini. Tiar, anak laki-laki usia empat tahun langsung menghampiri aku begitu melihat kedatanganku. Ia minta digendong tapi tidak aku indahkan karena dia harus belajar. Selain itu, Sirah juga iseng sekali padaku sampai-sampai menutup mataku dengan kedua tangannya. Tapi aku senang, senang sekali. Entah apa yang membuat kegiatan belajar mengajar hari ini membuat stressku berkurang.
Setelah dari Rumah Singgah, aku pulang ke kosan pakai kereta dan melanjutkan perjalanan menggunakan sepeda. Begitu sampai kosan, aku langsung menyalakan laptop, memutar lagu, dan membuat mie instan pakai telor dan kuah susu. Keluargaku tidak ada yang doyan mie kuah susu kecuali aku. Selain itu aku juga membuat tehh hangat pakai susu. Ya, dua menu pakai susu. Saat asik makan, tiba-tiba laptopku minta diupdate. Jadilah lagunya berhenti diputar. Kemudian kamarku hening. Aku memandangi langit-langit kamar. Aku ingat punya buku puisi yang belum dibaca. Kemudian aku baca. Aku jadi sadar, kini otakku tak lagi pandai memahami puisi. Ah, mungkin aku harus membaca buku jenis lain esok hari.

Wednesday 12 September 2018

A Letter to Mustika

A letter to Mustika
From: your beloved self, yourself.
Halo, Mustika. Lama rasanya tak berbincang dengan segelas teh yang biasanya selalu tertuang dengan asap yang masih mengepul di atasnya. Maka malam ini, berterima kasihlah kepada diriku yang telah membuatkannya untukmu. Oh, ya, maaf terlalu banyak bicara hingga lupa untuk menanyakan kabar. Bagaimana kabarmu? Kulihat kantung matamu menghitam akibat sukar tidur. Juga bibirmu tak menyunggingkan senyum sebanyak biasanya. Ada apa, wahai nona? Adakah yang bisa kubantu?
Oh, perihal masalah itu. Ya, aku paham. Masalah hati dan perasaan memang memusingkan. Aku juga telah sering meminta untuk dirimu jangan terlalu merisaukan masalah itu. Biarlah, biar segalanya menguap di udara. Percayakan sang waktu akan membantu kau untuk tidak banyak merasa sesak seperti hari-hari kemarin. Percayakan waktu akan segera mempertemukan manusia-manusia unik, yang mengisi hari-hari dan membuat dirimu merasa jauh lebih baik, lebih dihargai. Hei, kau layak untuk mendapatkan hal itu: being loved and appreciated.
Kemudian kudengar, kau juga merasa lelah dengan tuntutan pekerjaan organisasimu belakangan ini, ya? Maaf jika aku terlalu sok tahu. Tapi aku sangat merasakannya, Nona. Saban hari dan tengah malam kau banyak menghabiskan waktu untuk berpikir dan bekerja untuk itu. Aku tahu, sadar atau tidak, diucapkan atau tidak, diakui nuranimu atau tidak, kau sangat perlu untuk beristirahat. Kau butuh pergi ke toko buku sendirian, atau sekadar mencari kedai kopi baru yang belum pernah kau kunjungi. Belum lagi masalah yang berkaitan dengan, ya, kurasa aku tak perlu menyebutkannya, memang menguras banyak sekali tekanan mental dan kesabaran. Dan, ya, Tuhan percaya kau akan sabar menerimanya. Tuhan Maha Tahu, Maha Mengerti. Menangislah jika kau butuh, tersedulah jika kau ingin. Ada Dia yang Maha Mendengarkan.
Pun, ya, aku paham. Rasa sendiri dan tak punya tempat mengadu memang perasaan terburuk yang dimiliki oleh manusia. Aku juga paham, ingin rasanya ada sosok manusia yang benar-benar bisa mengerti, benar-benar bisa mendengar dengan hati tanpa harus merasa takut untuk dicaci. Juga aku paham rasa takutmu berbuat salah, juga aku tahu kekhawatiranmu tentang pandangan orang lain terhadap dirimu, juga aku tahu kau yang selalu merasa kurang. Aku tahu. Aku tahu.
Tapi, hei, bisakah kau sejenak menyayangi dirimu sendiri? Lelah yang hadir mungkin sejatinya datang dari dirimu sendiri, Nona. Coba hirup udara lebih dalam, hingga mengingat aroma teh yang selalu kau seduh bahkan juga mencintaimu. Bahkan diriku bisa menjadi tempat mengadu paling mengerti, paling memahami. Paham bahwa manusia pertama yang seharusnya memaafkan sebuah ketidaksempurnaan adalah dirimu sendiri.



Thursday 28 June 2018

Surat untuk Bumi

Halo, Bumi.
Kali ini aku menyapamu ramah, tak pakai ego. Sama sekali.
Kali ini aku telah reda, tak lagi hujan badai seperti hari-hari sebelumnya. Aku yakin kau paham apa yang kumaksud. Ini memang belum memasuki musim kemarau. Aku juga tak bilang tak ada hujan sama sekali. Ya, namanya juga kehidupan. Rintik dari gerimis bahkan hujan sedang juga kadang masih menjadi tamu di bawah kelopak mataku.
Ya... mungkin efek cuaca. Suasana di sekitarku masih dipenuhi potongan kenangan dari dirinya. Ada foto kami berdua yang masih menggantung di pojok sana serta kado ulang tahun dari dirinya beberapa tahun ke belakang. Belum lagi petualanganku dengan dirinya dapat dikatakan lumayan banyak, sehingga tak ada sudut kota yang tidak ada kenangan bersama dirinya.
Aku tidak ingin menjadi pembohong, ya. Jujur saja, kadang aku masih suka iseng bertanya, sedang apa dirinya? Apakah dia sehat? Apakah segalanya baik-baik saja? Tapi tentu, pertanyaan itu selalu kugantungkan di antara ribuan pertanyaan lainnya yang tak perlu kutagih jawabannya.
Tapi kemudian aku suka meneguk segelas air putih agar tenggorokanku tak mengering akibat terlalu meradang. Agar otakku juga tak terlalu kering, berpikir hal-hal yang melelahkan tentang dirinya. Mengingat-ingat hal-hal yang membahagiakan hingga memuakkan kadang membutuhkan banyak energi.
Begitulah. Aku hanya bisa berpikir dan menuangkannya di surat ini padamu, Bumi. Dia tak lagi menghubungiku. Tak juga menunjukkan gelagat untuk peduli kepadaku. Tapi, kan, kau lebih tahu. Jadi, mungkin kalau kau mau berbaik hati, barangkali kau tak keberatan untuk memberikan sedikit kabar tentang dirinya.

Tapi, kalau tidak bisa... ya, tak apa. Aku tetap berdoa agar dirinya tetap baik-baik saja. Kami berdua akan baik-baik saja. Melanjutkan kisah, kisah yang baik dan buruk di hari-hari berikutnya, petualangan-petualangan tak terduga lainnya, langkah-langkah kelana bersama manusia ciptaan Tuhan lainnya yang telah digariskan oleh-Nya. 

Saturday 14 April 2018

tentang aku dan kau; di balik jendela.

Yang, yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna
Yang terus berulang suatu saat henti
Yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti.....
Sebuah lagu memenuhi ruang telingaku. Hatiku tertohok sedikit, seolah tokoh yang dibicarakan dalam lagu itu adalah aku. Berbicara tentang matahari yang berganti setiap harinya dari langit sebuah kota. Aku tak tahu apakah ini benar atau salah, namun perlukah kita berdebat atas nama sandiwara yang tak lagi sama?
Burung di balik jendela bersautan, berbahasa dengan temannya. Kemudian yang satu pergi ke ruang bebas. Apakah mereka usai bertengkar? Atau selesai mengucap selamat tinggal? Atau sekadar berjanji pergi sebentar dan meneguhkan hati bahwa ia akan kembali lagi.
Kurasa itu memang bukan urusanku. Namun mengapa dua ekor burung memiliki hati yang lebih lapang untuk meninggalkan dan ditinggalkan? Pesan apa yang mampu membuat mereka begitu mudah untuk melepaskan? Aku hanya tak punya alasan maupun jawaban untuk pertanyaan atas aku dan kau yang tak bisa tabah ditampar kenyataan bahwa sandiwara yang kita punya tak lagi sama.
Atau hanya aku? Jungkir-balik memikirkan mengapa kau bisa sebegitu kejamnya berkata bahwa bahasa kita tak lagi sama dan tak mencari jalan keluar—ketika aku tahu memang tak ada jalan keluar. Kemudian, apa yang ada dipikiranmu saat ini, wahai tuan? Aku tak suka dan tak sudi harus dihantui rasa yang tidak pasti. Kotak memori yang aku punya tentang aku dan kau mungkin akan menjadi masalah baru nantinya, namun sebelum menuju langkah itu, aku hanya ingin kau segera membuat warna pada langit kelabu di antara kita. Mau biru haru atau merah merekah, aku tak mempermasalahkannya lagi.
Aku ingin kau dan aku baik-baik saja—terlepas jika memang keadaan itu menghancurkan aku kemudian.


Saturday 9 September 2017

Di Antara Daun Gugur.

Adalah matahari,
Yang memancar sinarnya kepada kaca bis yang kutumpangi. Daun-daun jatuh di luar sana. Para penyapu jalan tampak sibuk dengan sapunya, menggiring daun ke samping jalan. Sedangkan aku di sini, terduduk diam pada hari sabtu di sebuah bis tua. Aku tak lagi ingin bicara dengan orang lain. Memangnya aku duduk dengan siapa?
Senyum pahitku mengembang. Lagu di telepon genggamku terus mengalun. Ada seorang penyanyi dengan gitarnya memenuhi ruang di telingaku.
Aku sendirian.
Aku tak paham mengapa bisa rindu menjadikan aku sebagai konsumen lagu-lagu sendu seperti ini. Pikirku jadi terbawa jauh.  Aku memejam mata sesaat. Ada kau di ujung mataku, tapi hanya sedetik.
Aku membuka mata dan masih duduk di bis tua. Sinar matahari masih menyusup di antara daun-daun yang gugur. Aku juga bisu dengan segala perasaan dengan nama rindu berkecamuk dalam dada. Aku ingin pulang.
Atau bergantian, kau yang datang kemari.

Namun aku tahu bahwa sannya kita manusia dan tak memiliki sayap. Kita manusia yang terkurung dalam tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu. Lalu dengan alasan itu, kau maupun aku menjelma menjadi sekadar suara di ujung telepon pada sisa waktu sebelum tidur.

Saturday 1 July 2017

Jarak.

Mata ini enggan terpejam lagi. Padahal, ia baru mau beristirahat tiga jam yang lalu. Namun rasanya memang mataku terlalu berat untuk kembali tertutup. Pun matahari yang semakin meninggi membangunkan hasratku untuk membuka jendela kamar.
Sinar matahari menerangi kamarku. Debu-debu tampak berterbangan. Aku semakin sadar mataku menyipit. Sesak itu kembali menyerang.
Malam tadi, suaranya yang parau itu lebih terdengar seperti belati yang menyayat perasaan. Tanpa perintah, takutku yang menggunung sejak beberapa pekan yang lalu tumpah semua. Dadaku terhimpit penuh oleh rasa yang senada dengan apa yang menggontaikannya.
Ia memanggil namaku pelan.
"Apa?" Sahutku dengan usaha penuh agar suaraku terdengar biasa saja.
"Maafkan aku," katanya, lagi, dengan suara parau. Sebuah maaf yang tak perlu kutanya lagi konotasinya.
Aku bisu. Tak kusadari ternyata pipiku telah basah juga.
Aku mendengar ia menelan ludahnya. Aku paham, rasanya pasti pahit. Sangat pahit. Aku terlalu mengenalnya. Meski lewat ujung telepon, aku tetap bisa lihat wajahnya saat ini yang getir tak terjabarkan.
Aku berusaha tertawa. Tapi hasilnya, tawa itu malah bercampur dengan isak yang tak bisa lagi kusembunyikan. Tangisku semakin menjadi-jadi.
Hening. Kami  berdua sama-sama sibuk membenahi air mata.
"Iya, gak papa, kok," akhirnya aku yang angkat bicara. "Asalkan kamu baik-baik saja, aku gak papa," dan semua orang tahu ini terlalu klise. Tapi aku rasa, jika kau yang ada di posisiku, kau juga akan mengucapkan kalimat yang sama.
Seketika tanganku mengeratkan pelukannya kepada bantal yang terlanjur kubasahi. Tenggorokanku tercekat.
Semesta memang terlampau ajaib. Sungguh, baru aku tahu bahwa perasaan bisa semengacaukan ini. Atau aku juga pernah kacau, tapi kukira kali ini aku tak akan lagi berjumpa dengan perasaan macam ini. Dia, terlalu baik, terlalu menyayangi untuk mengacaukanku. Hingga sempat aku bertanya, memangnya hal apa yang dapat memisahkan aku dengannya? Ternyata ini; jarak.
Pun aku tanyakan   seperti apa sakitnya? Ternyata seperti ini; sakit sekali.

Monday 19 June 2017

Pulang.

Tak kutarik lagi selimutku. Sebab kini aku paham, dingin ini bukan perihal angin malam yang menyusup ke kamarku, namun rindu yang menggunung hingga tumpah ruah menjadi laut pada pipiku. Suara serangga bersahutan pada pukul 02.21 pagi ini. Aku urung menyalakan lagu. Aku rasa aku butuh keheningan untuk menulis kerinduan atas kepulangannya yang hampir dua tahun berlalu.
Rindu ini memang tak pernah habis, tak pula padam. Bak air hujan yang punya siklusnya sendiri—jatuh, menguap, menjadi jenuh, lalu jatuh lagi. Atau bak api yang membakar rumah yang terus menyalak, tak peduli berapa yang habis akibat egonya itu.
Namun aku tak bilang bahwa rindu ini buruk. Karena kenyataannya, rindu ini memaksaku untuk mengalah. Ia tunjukkan betapa untuk mengusirnya ialah sebuah kemustahilan. Jadi tak ada daya bagiku untuk menghilangkannya. Ia hidup kekal, sekekal-kekalnya dalam darahku.
Juga betapa rindu kala ia berkonspirasi bersama waktu, menegarkanku. Menguatkan sayap-sayap yang patah. Membisik bahwa rindu tak meminta untuk diratapi, tapi hanya untuk dimengerti—yang telah pulang itu tak ingin pulang untuk melukai. Rindu bilang, memori yang berputar itu hanya ingin menyadarkanku bahwa yang telah pulang itu benar mencintaiku, tulus menyayangiku. Maka tugasku ialah untuk menjadikan ke-pernah-adaan-nya untuk membangun aku yang kuat menghadapi matahari besok.
Dan betapa kerinduan ini membuat aku tahu, bahwa kepulangannya tak pernah sia-sia. Betapa kepulangannya telah membuka mataku lebar-lebar, membuat aku paham bahwa sayang yang sesungguhnya ialah yang saling menyebut dalam doa. Ialah yang mau bertindak lebih. Ialah yang selalu merindu. Ialah yang berharap terbaik untuknya dan selalu mengikhlaskannya.
Sungguh, kepulanganmu telah menghadirkan rindu yang luar biasa—bukan sekadar rindu yang menuntut pertemuan. Namun rindu yang mengajarkan aku sebuah ketabahan.
Aku yakin, masih ada seribu pelajaran yang Allah siapkan untukku atas kepulanganmu dan aku siap untuk itu.

Untuk itu, Pa, terima kasih sudah pulang kepada-Nya.